Oleh
Dian Friantoro / Akuntansi 2012
SORE. Tanah, sedari siang sudah
bencah karena segerombol hujan datang dan belum menyampaikan salam. Sekelompok
anak tengah asyik memainkan sikulit bundar di tanah lapang dekat sungai Mahakam,
meskipun kaki-kakinya sulit untuk melangkah lantang. Gawang bambu yang tak berpresisi adalah sajak nestapa
anak pedalaman Kalimantan. Pepohonan
lebat, rumput liar dan sebaris rumah terbuat dari kayu sederhana merupakan
tanda baca empiris yang mungkin tak bisa dimanipulasi secara dramatis. Miris,
Denotasi mengatakan itu tragis.
Seorang anak melangkah terbirit
mengambil sibundar disisi luar lapangan. Selembar pakaian ditubuhnya lusuh,
sama sekali tak menampakkan raharja. Bola yang keluar lapangan tersebut ia ambil
oleh tangannya yang berlumpur. Lantas, ia membalik dan berlari lagi ke ujung
garis lapangan. Seorang temannya memberi tanda. Dengan cekatan, bola itu ia lempar kearah temannya. Seketika
saja hujan lagi-lagi datang tak memberi salam. Deras.
Anak-anak yang tadi bermain bola
berlari. Meluncur kearah sederet rumah warga yang tertata rapi tersisi.
Termasuk salman, anak pedalaman Kalimantan yang tahun ini genap berumur 11
tahun. Ia tinggal di gubuk tua nan reot dekat lapangan bola. Oleh karena itu,
salman lebih cepat sampai ke rumahnya dibanding teman-temannya yang lain.
“Sore ini hujan sangat deras ya bu ?” Ujar Salman sambil berjinjit, mengintip hujan dari dalam jendela. Jendela berkaca kusut menyisakan kelut.
“Iya, memang akhir-akhir ini
hujannya deras nak.” Ibu menjawab biasa. “Memang kenapa nak ?”
“Apakah
Allah tidak suka aku bermain bola dilapangan sehingga Allah menurunkan hujan bu
?” Salman berbalik menatap ibunya yang tengah menyerut lidi, memisahkan daun
dan tangkai lidi menjadikan kumpulan lidi--sapu.
“Bukan begitu nak” Ibunya melemparkan
senyum. “Allah bukan tidak suka kamu bermain bola, tapi ya hujan itu memang
kehendak Allah” senyumnya semakin melebar. Tak sempat mendengar jawaban dari
Ibunya, Salman sudah melesat setelah mendengar suara ketukan pintu dari luar
rumah. Pintu berkayu sendu ia buka perlahan, terdengar suara teriakan,
bercampur dengan irama air hujan.
“Horeee.. Ayah pulaang” raut mukanya
demikian berubah seketika saat melihat kumis ayahnya yang dari dulu selalu
begitu. Kumisnya hitam. Ketam. Ayahnya ia peluk dengan erat. Kerinduan terlepas
dari inangnya. Tak ada lagi pembatas ruang dan waktu bagi anak dan ayahnya itu.
“Alhamudillah, Ayah bisa pulang nak.
Mana ibumu?” Sambil berjalan menyusuri ruangan yang tak asing. Setrika arang,
lampu semprong dan tv hitam putih kebanggaan keluarga itu. Terhitung langkah ke
tujuh dari pintu depan rumah yang berbelok kearah dapur. Ia sudah menemukan
perempuan berdaster lusuh bergambar bunga sakura terduduk dikursi.
“Marni, kamu sehat ?” senyum Ayah
salman mekar.
“Alhamdulillah, Allah masih memberi
kesehatan kepadaku, O iya, bagaimana pekerjaanmu ?” berbalas senyum, kerut
diwajah ibu salman menghilang. Tak biasanya sejak hari-hari keamrin. Berbeda.
“Allah mungkin belum membuka pintu rezeki
untuk kita” Mata Ayah tertunduk. Rona wajahnya seketika meredup. Pilu.
“Maksudnya?”
Pita suaranya merendah “Aku di PHK
dari pabrik di Malaysia Mar” Suaranya beraksen ringkih seperti tak mampu
berbuat apa-apa lagi. Memang, himpitan ekonomi semakin meredupkan keluarga ini.
10 bulan yang lalu, Ayah salman memutuskan untuk pergi mengadu nasib ke negeri
seberang, Malaysia. Namun, hari ini Ayah Salman kembali ke kampong. Bukan
sekadar mengunjungi rumah, tapi ia sadar Malaysia bukan tempat yang cocok untuknya
mengadu nasib.
“Sudahlah, kita harus tabah. Mungkin
itu memang terbaik untuk keluarga kita” Ibu Salman menepis. Ia bak seorang
bidadari yang diturunkan untuk membersamai laki-laki kurus dan berkumis tebal
ini yang sedang ringkih ini.
Melihat perbincangan 2 sejoli
tersebut, Salman datang membawa plastik berisi beras yang ditinggalkan ayahnya
dipintu tadi. Salman datang membawa gelar, Remaja sekarang menamainya “KEPO”. Lantas
Ia bertanya pada Ibu dan Ayahnya “Ibu, Ayah.. apa itu PHK ?” Sambil memberikan
seplastik beras ke tangan Ibunya.
Ayah yang tadi berwajah redup, kini
mulai menarik otot-otot pipinya “PHK itu pemberhentian kerja Man”
“Jadi ayah diberhentikan dari pekerjaan?” Salman bingung.
“Jadi ayah diberhentikan dari pekerjaan?” Salman bingung.
Ayahnya mengelus kepala Salman “Sudahlah man,
kamu belum pantas memikirkannya” Ibunya juga ikut mendekati Salman “ Man, kamu
itu ya dari tadi banyak nanya. Awas lho, kalo banyak nanya mulutnya jadi dower,
haha..” Tawa kecil memeriahkan susasana.
“Apakah Ayah di PHK itu juga kehendak allah bu ?” Salman masih tak berhenti pada kata bingung “kalau begitu allah tidak adil, kenapa ketika aku bermain bola di lapangan tadi Allah turunkan hujan? Allah itu maha mengetahui, Allah tahu kan kalau lapangan kampong kita kalau hujan akan banjir? Allah tidak adil bu. Terus, Kenapa Allah mem-PHK Ayah, Kan hidup kita jadi tambah miskin ? Allah tahu juga kan keadaan keluarga kita seperti apa ? Allah tidak adil bu” Celoteh mulut Salman seketika mendiamkan suasana setelahnya. Ayah dan ibunya memang mengabsorpsi apa yang dikatakan anaknya yang baru berusia 11 tahun itu.
“Apakah Ayah di PHK itu juga kehendak allah bu ?” Salman masih tak berhenti pada kata bingung “kalau begitu allah tidak adil, kenapa ketika aku bermain bola di lapangan tadi Allah turunkan hujan? Allah itu maha mengetahui, Allah tahu kan kalau lapangan kampong kita kalau hujan akan banjir? Allah tidak adil bu. Terus, Kenapa Allah mem-PHK Ayah, Kan hidup kita jadi tambah miskin ? Allah tahu juga kan keadaan keluarga kita seperti apa ? Allah tidak adil bu” Celoteh mulut Salman seketika mendiamkan suasana setelahnya. Ayah dan ibunya memang mengabsorpsi apa yang dikatakan anaknya yang baru berusia 11 tahun itu.
Namun, mereka
tak mau ambil serius dan berhenti pada satu sudut—Tertawa. Salman tak terasa
sudah beranjak dewasa.
***
Pagi
cerah. Gubuk tua masih menyisakan embun tadi malam. Ayah dan ibunya sibuk membersihkan dan memasang kembali kaligrafi tua yang dari
dulu hanya disimpan digudang dekat pojok dapur. Albaqarah ayat 117 adalah
tulisan ayat isi dari kaligrafi tersebut. Salman terheran.
بَدِيعُ
السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضِ وَإِذَا قَضَى أَمْراً فَإِنَّمَا يَقُولُ لَهُ كُن
فَيَكُونُ
[Allah Pencipta-awal langit
dan bumi, dan bila Dia berkehendak (untuk menciptakan) sesuatu, maka Dia hanya
mengatakan kepadanya: "Jadilah", maka jadilah
ia.]
Surat Al-Baqarah (2) Ayat 117
***
Karangmalang,
21 Desember 2012
bagus ..
BalasHapussriwijaya air sriwijaya air
sriwijaya air sriwijaya air
sriwijaya air sriwijaya air
sriwijaya air sriwijaya air